"Waah… lusa ibu ulang tahun..!"
Seorang pemuda berambut merah marun tengah menatap kalender yang terpampang di dinding putih kamarnya. Pemuda itu membulatkan salah satu angka di kalender dengan spidol merah miliknya. Mata beriris merah marun nya tampak dipenuhi sorot mata bahagia. Kemudian terdengar suara ibunya dari ruang tamu. "Cicero! Ayo makan!"
Pemuda yang dipanggil Cicero itu segera pergi ke ruang tamu. Disana, ia segera duduk di salah satu bangku yang mengelilingi sebuah meja bundar dari kayu. Diatas meja tersebut terhidang tiga piring roti isi daging asap, selada, dan irisan tomat beserta mayonais yang lezat. Ayah Cicero keluar dari kamar dan segera duduk di samping Cicero. Wanita yang menjadi Ibu Cicero juga duduk. Mereka bertiga memakan sarapan masing-masing, sesekali Cicero membicarakan beberapa hal sepele kepada kedua orang tuanya. Setelahnya, ia segera pergi ke kamar untuk mengambil tas hitamnya dan segera memakai sepatu kets. Ia lalu berpamitan kepada orang tuanya dan pergi ke sekolah.
Dalam perjalanannya ke sekolah yang berjarak tak jauh dari rumahnya, ia bisa melihat sebuah bendungan dari batu-batu kali yang tersusun begitu rapih dan terlihat sangat kokoh. Iya, bendungan itu untuk menampung air yang kemudian dialirkan ke sawah-sawah penduduk yang tesebar di sekitar pusat kota yang penuh hingar-bingar. Cicero tersenyum sembari menatap bendungan itu tanpa berhenti. Ia sangat suka memancing disana bersama Miruki, Sai, Zed, Roya, dan bahkan Glaudio dan Kakak Miruki, Shin. Terkadang ayah Miruki, Mosuke juga ikutan memancing bersama mereka. Ia bahkan ingat ketika sepatu Sai dilempar ke tengah danau olehnya. Tak lama ia sudah tiba di sekolahnya. Ia menghampiri Zed yang memakai jaket abu-abu dibalik baju seragamnya, melambai-lambaikan tangannya ke Cicero. Cicero kemudian bertanya kepada siswa berambut putih yang mirip dengan Loki dari the Avenger dengan iris berwarna kuning keemasan. "Kamu kenapa Zed?"
"Akhir-akhir ini hujan Cis. Aku saja sampai kedinginan begini. Ah ayo masuk! Nanti kita malah membeku disini." Ajak Zed sembari berjalan ke kelas, dan Cicero mencoba mensejajarkan langkahnya dengan langkah Zed. Ketika mereka berdua menjejakkan kaki di kelas, Miruki, siswi berambut putih pendek dan bermata biru laut, menghampiri mereka dengan gaya tomboy. "Hei, kalian! Aku merasa ada yang buruk dengan bendungan."
"Huh, mungkin hanya banyaknya lumut, Mir. " jawab Zed tidak peduli. Cicero menahan tawanya, sementara Miruki menggeleng, ekspresinya sekarang terlihat dewasa, berbanding terbalik dengan biasanya yang selalu memancarkan sifat troublemaker-nya. "Tidak tidak. Aku serius."
"Yeah, dan aku dua rius." Celetuk Cicero sambil tertawa bersama Zed. Miruki tidak marah, ia hanya terdiam. Miruki memang bukan anak indigo, namun ia memiliki kemampuan Precognition, Cicero tahu itu, meskipun tidak selalu benar. Ia sedikit khawatir juga dengan firasat Miruki. Tapi ia menepis pikiran buruknya itu. Ia kemudian segera menaruh tas punggungnya di kursi yang berada di tengah barisan tiga. Ia merogoh kantung depan tasnya, ada sebuah kalung emas dengan koin berlapiskan perak yang berbentuk seperti donat di tengahnya. "Waw, kalung untuk ibu ada di tasku kawan-kawan!"
"Bodoh! Kalau disita bijimana?" tegur Miruki. Alis putihnya mengerut. "Kau mendapatkannya setelah menabung sebulan, dan hilangnya sekejap mata."
"Jangan begitu dong, Mir. Pesimis banget…" Zed melipatkan kedua tangannya di dada. Cicero menatap Miruki sambil nyengir kuda. "Tuh… dengar kawan sewarna mu!"
"Berisik!" celetuk Miruki sinis, mengutuk-ngutuki warna rambutnya yang begitu mencolok. Terdengar suara rintik-rintik hujan diluar. Zed menaruh tas selempang berwarna coklatnya di kursi miliknya, lalu menengok jendela. "Hujan."
"Semoga pulang cepat." Harap Miruki, yang langsung dibalas dengan Zed. "Amiin."
"Ya kalau." Celetuk Cicero. Rintik-rintik hujan semakin deras di luar. Suara rintik-rintik hujan terdengar memenuhi telinga. Udara di sekitar menjadi lebih lembab dari biasanya. Di sela-sela suara rintik hujan yang menggemuruh, terdengar suara bel masuk. Zed, Miruki, dan Cicero segera duduk di bangku masing-masing, begitu juga dengan siswa-siswi lain. Tak lama, Pak Mosuke masuk. Sai, sebagai ketua kelas, berdiri dan mengucapkan salam, diikuti yang lain. "Selamat pagi, Pak!"
"Selamat pagi, Pak…"
"Selamat pagi juga, anak-anak."
Guru berambut putih itu duduk di bangkunya. Ia membaca bukunya sebentar, lalu berdiri di depan kelas. "Nah anak-anak, buka halaman 143."
Anak-anak membuka bukunya, termasuk Cicero. Ketika sampai di halaman yang diinginkan, ia menemukan sebuah puisi berjudul 'Berita Kepada Kawan' dengan Ebiet G Ade sebagai pengarang. Ia bertanya. "Puisi?"
"Yap." Jawab Mosuke mantap. "Hafalkan puisi itu, lalu satu-satu tampil didepan, oke?"
"Yah… si bapak, ngeribetin." Rutuk Zed diam-diam. Sai, yang duduk disampingnya, menegurnya. "Hush, jangan begitu. Nanti ketahuan bagaimana?"
"Kamu juga ngeribetin, Sai."
Kelas rebut dengan para murid yang menghafal. Ada yang biasa, ada yang dengan gaya, bahkan ada yang menghafal sembari berkeliling kelas. Mosuke tidak peduli dengan semua keributan, malah memperhatikan satu-persatu murid-muridnya. Cicero mencoba mengahafal bait pertama puisi.
Perjalanan ini
terasa sangat menyedihkan
Sayang engkau tak duduk
Disampingku kawan
Cicero terhenyak. Ia merasa ada kejadian buruk yang akan menimpanya. Ia jadi teringat peringatan Miruki. Bagaimana jika ia mengindahkan peringatan Miruki, dan ternyata itu terjadi? Tapi bencana apa? Cicero tak tahu. Ia cukup takut jika ia tergelincir. Ia tidak ingin kehilangan orang-orang yang ia kasihi. Jelas tidak, ia begitu menyayangi mereka. Lama ia terlamun, hingga terdengar suara derakan yang begitu keras. Seperti batu yang didorong paksa. Mosuke segera bangun dan berlari keluar kelas dengan tergesa-gesa. Cicero ketakutan jika apa yang ia bayangkan terjadi, dan memang terjadi ketika Mosuke kembali sambil berseru. "Anak-anak! Rapihkan buku kalian dan cepat ke aula! Bendungan amblas!"
Kelas kembali riuh dengan suara panik dan ketakutan, termasuk Cicero. Ia segera merapihkan bukunya dan berlari ke aula. Di sana, jalanan tergenang air yang semakin lama semakin naik. Tanpa pikir panjang, ia menerobos genangan air setinggi betisnya untuk pergi ke rumahnya. Ia sudah tidak peduli dengan buku-bukunya yang basah, yang ia inginkan hanya keselamatan kedua orang tuanya. Semakin lama genangan air semakin tinggi, kini setinggi lututnya. Dengan keras, ia melangkahkan kakinya menuju rumahnya. Dari jauh, ia mulai melihat kedua orang tuanya keluar rumah dan mengusirnya. Cicero tidak peduli, ia hanya ingin kedua orang tuanya selamat. Tapi, ketika jaraknya sudah dekat, terdengar suara amblas, dan air bah datang dan menghanyutkannya. Cicero tidak bisa melihat keadaan orang tuanya selanjutnya. Ia berusaha berenang melawan arus, tapi gagal dan terhanyut lebih jauh. Ia tenggelam, ia tidak berdaya. Ia melayang-layang didalam air bagaikan mayat, hingga kerah bajunya ditarik ke atas sebuah perahu karet oleh seseorang berambut coklat kekuningan. Glaudio Deathsaber.
"Cicero! Kau tidak apa-apa kan?!"
Cicero mengambil nafas sejenak sebelum menggenggam erat lengan Glaudio. "Bawa aku ke rumahku! Ayah dan ibu dalam bahaya!"
"Tidak bisa bodoh. Percuma." Jawab Miruki sambil mengernyit. "Rumahmu sangat dekat dengan lubang bendungan."
"Tidak! Tidak! TIDAAAAK!" Cicero segera menyebur, namun ditahan Glaudio. "Jangan seperti orang gila Cis! Jijik aku!"
"Dia kan emang gila Io." Celetuk Zed sembari memegang erat kaki kanan Cicero. Cicero terus memberontak. Miruki, Glaudio, dan Zed berusaha menahan Cicero sekuat tenaga, bahkan Miruki berusaha mengelitikinya untuk membuatnya lumpuh, sementara Sai, Shin, dan Roya mendayung perahu karet mereka secara perlahan, menuju tempat yang aman. Cicero akhirnya menyerah dan memilih duduk. Ia mengorek-ngorek isi tasnya yang basah kuyup, dan menemukan kalung emas untuk ibunya. Ditatapnya kalung itu lekat-lekat, berharap kedua orang tuanya tidak apa-apa.
Lama mereka menyusuri jalan-jalan yang tergenang air bah setinggi atap rumah berlantai satu. Hingga akhirnya mereka tiba di tempat yang diinstruksikan Mosuke dengan walkie talkie, pengungsian yang jaraknya sangat jauh dari rumah Cicero, berada di ujung kota. Disana, mereka disambut dengan penuh suka cita dan kekhawatiran dari Tsukishiro, ibunda Miruki dan kakaknya Shin, dan kedua orang tua Sai. Glaudio, Roya dan Zed, meski mereka anak yatim piatu, tetap dikhawatirkan oleh Tsukishiro, yang juga membelai mereka bertiga. Miruki pun bertanya. "Ayah mana?"
Tsukishiro berbisik di telinga anak gadisnya itu. "Ayah sedang mencoba menolong orang tua Cicero."
Miruki melirik Cicero dengan prihatin, sedangkan Cicero sendiri hanya meratapi luapan air bah di ujung sana, sendirian. Kemudian, Miruki berbisik di telinganya. "Ayahku mencoba menolong ayah dan ibumu Cis. Jangan bersedih gitu dong."
"Kamu serius?!" Tanya Cicero tiba-tiba. Ia begitu banyak berharap. Miruki mengangguk. "Iya… berdoalah."
Miruki bangkit dan meninggalkan Cicero sendirian. Cicero menatap langit yang mendung dengan penuh harap. Ia terus menunggu dan menunggu, tak lelah ia memperhatikan orang-orang yang lalu-lalang di tenda pengungsian. Matahari telah beranjak ke singgasana nya, tapi Cicero belum melihat kedatangan Mosuke. Ia lagi-lagi menunggu dengan sabar. Ia tidak mempedulikan ajakan teman-temannya untuk makan siang. Ia terus menunggu hingga matahari sudah berada di ufuk barat. Hingga malam menjelang, barulah Mosuke dan beberapa anggota Palang Merah terlihat dengan memakai pelampung. Cicero segera menghampiri mereka, dan dengan wajah berbinar-binar dan penuh harap, bertanya. "Pak Mosuke, bagaimana dengan..?"
Mosuke menatap salah satu anak murid dihadapannya ini. Ia terlihat bingung akan mengatakan apa. Hingga akhirnya ia memegang pundak Cicero. "Maafkan kami. Kami tidak bisa menemukan kedua orang tuamu."
"Ap-" Cicero tidak melanjutkan kalimatnya, ia memilih terdiam. Ia lalu pergi ke tendanya dan mendekam sembari memegang erat kalung untuk sang ibunda.
Kawan coba dengar apa jawabnya
Ketika ia kutanya mengapa
Bapak ibunya telah lama mati
Ditelan bencana tanah ini
2 hari kemudian, jam 09.00
Seharusnya hari ini Cicero mempersembahkan kalung emas untuk ibunya yang ulang tahun, tapi ternyata Yang Maha Kuasa berkata lain. Cicero menatap tanah dihadapannya yang porak-poranda dengan muram. Sudah dua hari orang tuanya belum ditemukan dan dikatakan menghilang. Bau tanah basah dan busuk terbawa angin kesedihan. Cicero menitikkan air mata, hatinya tergetar tatkala mengingat kejadian dua hari yang lalu. Sambil mengantongi kalung emas untuk ibunya, ia menyusuri jalanan basah dan berlumpur. Ia tak kuasa menahan rasa sedih. Ia mencari satu persatu puing-puing bangunan, berharap menemukan kedua orang tuanya. Matanya kemudian menangkap seonggok-bukan, sepasang tubuh di tanah, terlihat sedikit membusuk. Cicero menghampiri tubuh itu, dan tak kuasa menahan tangis ketika mengetahui sepasang tubuh itu, tubuh tak bernyawa kedua orang tuanya. Dengan tangan bergetar, ia menyentuh kulit keduanya, sedingin es. Ia terus menangis ditengah kesunyian penuh kesedihan di tanah itu. Hingga Miruki, Sai, Zed, Roya, Glaudio, dan Shin menghampirinya dan berusaha menghiburnya, turut berduka cita atas kematian keduanya dengan isak tangis.
Tetapi semua diam
Tetapi semua bisu
Tinggal aku sendiri
Terpaku menatap langit
Cicero menyaksikan penguburan kedua orang tuanya dengan penuh kesedihan dan penyesalan. Ia terus memegang kalung emas untuk ibundanya dengan erat. Seusai penguburan, Cicero menancapkan nisan kayu di kuburan kedua orang tuanya. Ia terus menatap makam kedua orang tuanya yang masih basah dengan muram, enggan untuk pergi dan merelakan keduanya. Satu-persatu orang-orang pergi, tinggal ia sendirian di malam gelap. Ia bertanya-tanya, mengapa ini harus terjadi padanya. Mengapa harus ada bencana di tanah yang ia injak kini. Mengapa kedua orang tuanya harus berpulang, dan khususnya sang ibunda di hari menjelang ulang tahunnya. Tapi tak ada yang menjawab pertanyaannya, semua membisu. Ia meratap kepada langit malam yang menemaninya. Ia kini yatim piatu, rumahnya hancur, semua uang jerih payah kedua orang tuanya musnah. Ia sudah terpuruk begitu dalam, lebih dalam dari tanah. Ia menangis sambil memegang erat kalung emas yang tertimpa cahaya bulan. Ia tak tahu apa kesalahannya hingga terjadi bencana di tanah ini.
Barangkali disana ada jawabnya
Mengapa di tanahku terjadi bencana
Mungkin Tuhan mulai bosan
Melihat tingkah kita
Yang selalu salah dan bangga
Dengan dosa-dosa
Atau alam mulai enggan
Bersahabat dengan kita
Coba kita bertanya pada
Rumput yang bergoyang
Comments must contain at least 3 words